Minggu, 10 Mei 2015

Asuhan Keperawatan Pada Anak Demam Kejang



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar belakang
Kejang demam merupakan kejang yang terjadi pada saat seorang bayi atau anak mengalami  demam tanpa infeksi sistem saraf pusat. Kejang demam biasanya terjadi pada awal demam. Anak akan terlihat aneh untuk beberapa saat, kemudian kaku, kelojotan dan memutar matanya. Anak tidak responsif untuk beberapa waktu, napas akan terganggu, dan kulit akan tampak lebih gelap dari biasanya. Setelah kejang, anak akan segera normal kembali. Kejang biasanya berakhir kurang dari 1 menit, tetapi walaupun jarang dapat terjadi selama lebih dari 15 menit.
Berdasarkan hal tersebut kelompok tertarik untuk membahas tentang penyakit kejang demam dan dapat mengaplikasikan dalam memberikan asuhan keperawatan khususnya kepada anak.

B.        Tujuan penulisan
1. Tujuan umum
Mahasiswa dapat memahami asuhan keperawatan anak pada klien dengan gangguan sistem saraf yaitu kejang demam

2. Tujuan khusus
Mahasiswa dapat menjelaskan :
1. definisi penyakit kejang demam pada anak.
2. etiologi penyakit kejang demam pada anak.
3. manifestasi klinik penyakit kejang demam pada anak .
4. patofisiologi penyakit kejang demam pada anak.
5. komplikasi penyakit kejang demam pada anak.
6. pemeriksaan diagnostik penyakit kejang demam pada anak .
7. penatalaksanaan penyakit kejang demam pada anak.
8. asuhan keperawatan yang harus diberikan pada klien dengan kejang demam

BAB II
        PENDAHULUAN

A.    Defenisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38°C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakarnium. Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada anak, terutama pada golongan umur 6 bulan sampai 4 tahun.
1.     Menurut Milichap (1968) adalah hampir 3% daripada anak yang berumur dibawah 5 tahun pernah menderitanya.
2.     Menurut Wegman (1939) dan Prichardl dan Mc. Greal (1958) adalah terjadinya bangkitan kejang demam bergantung kepada umur, tinggi serta cepatnya suhu meningkat.
3.     Menurut Lennox-Buchthal (1971) berpendapat bahwa kepekaan terhadap bangkitan kejang demam diturunkan oleh sebuah gen domman dengan penetrasi yang tidak sempurna.
4.     Menurut Lernox (1949) berpendapat bahwa 41,2% anggota keluarga penderita mempunyai riwayat kejang, sedangkan pada anak normal hanya 3%.
     
B.    Etiologi
Faktor-faktor yang mempengaruhi etiologi kejang demam ialah umur, kenaikan suhu tubuh, faktor genetik dan gangguan sistem saraf pusat sebelum dan sesudah lahir.
Kenaikan suhu tubuh biasanya berhubungan dengan penyakit saluran nafas bagian atas, radang telinga tengah, radang paru, gastroenteritis dan infeksi saluran kencing, kejang dapat pula terjadi pada bayi mengalami kenaikan suhu sesudah vaksinasi terutama vaksinasi terhadap bentuk rejan. Kadang-kadang juga terjadi setelah vaksinasi tampak akan tetapi angka kejadian kejang demam pasca vaksinasi tampak lebih kecil (1,9%) bila dibandingkan dengan angkat kejadian bila menderita penyakitnya sendiri (7,7%).

C.    Manifestasi Klinis
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat; misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkitis, furunkulasis, dan lain-lain. Umumnya kejang demam berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa adanya saraf.
Pedoman mendiagnosis kejang demam menurut Livingstone (dimodifikasi oleh sub bagian anak FKUI-RSCM Jakarta) :
  1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun.
  2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit.
  3. Kejang bersifat umum.
  4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
  5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.
  6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan kelainan.
  7. Frekuensi kejang bangkitan dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.
Pemeriksaan EKG sebaiknya dilakukan sedikit setelah 1 minggu suhu normal, oleh karena  kenaikan suhu tubuh sendiri dapat menimbulkan kelainan yang tidak spesifik pada gambaran EEG, yang dapat menetap hingga lebih kurang 1 minggu sesudahnya.

D.    Patofisiologi
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38°C, sedang pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40°C atau lebih. Kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama lebih dari 15 menit biasanya disertai terjadinya apnea. Meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontruksi otot skelot yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi, areterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul odema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.
Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi “matang” di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsi.

E.    Pemeriksaan Penunjang
  Foto x-ray kepala dan CT-scan biasanya merupakan bagian dari tindakan diagnosa pada kejang demam menunjukkan anatomi. Pemeriksaan metabolik dapat juga berguna, pemeriksaan glukosa darah, elektrolit, kalsium dan fungsi hepar serta ginjal sering kali didapatkan tentang platelet, kecepatan, sedimentasi dan pemeriksaan genelogi atau imunologi mungkin juga dipesankan (Hudak dan Gallo, 1996 : 282).
LCS juga dapat diperiksa terhadap sel-sel dan protein, serta penurunan glukosa, dibandingkan dan nilai serum normalnya. Semua glukosa setengah atau dua pertiga nilai serum. EEG sering memberikan keuntungan dalam menentukan diagnosa kejang dan dalam menemukan lesi jika keduanya terjadi memperlihatkan fungsi neurologi (Hudak dan Gallo, 1996 : 282).

G.    Penatalaksanaan
                        Dalam penanggulangan kejang demam ada 4 faktor yang perlu  dikerjakan :
1.     Memberantas kejang secepatnya
                     Bila pasien datang dalam keadaan status konvulsivus, obat pilihan utama adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Efek terapeutiknya sangat cepat yaitu kira-kira  30 detik 5 menit dan efek toksik yang serius hampir tidak dijumpai apabila diberikan secara perlahan dan dosis tidak melebihi 50 mg per suntikan. Dosis sesuai dengan BB < dari 10 kg 0,5-0,75 mg/kg BB dengan minimal dalam spuit 7,5 mg dan di atas 20 kg 0,5 kg/kg BB. Biasanya dosis rata-rata yang dipakai 0,3 mg/kg BB/kali dengan maksimum 5 mg pada anak berumur < dari 5 tahun dan 10 mg pada anak yang lebih besar.
2.     Pengobatan penunjang
                     Sebelum memberantas kejang tidak boleh melupakan perlunya pengobatan penunjang yaitu semua pakaian ketat dibuka, posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah  aspirasi isi lambung, usahakan jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen, bila perlu dilakukan intubasi atau trakeostomi dan pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen.

3.     Pengobatan rumit
                     Lanjutan pengobatan rumit tergantung dari pada keadaan pasien pengobatan ini dibagi atas dua bagian yaitu :
a.     Profilaksis intermiten
                   Untuk mencegah berulangnya kejang kembali dikemudian hari pasien yang menderita kejang demam, sederhana diberikan obat campur anti konvulsan dan antipirektika. Antikonvulsan yang diberikan ialah fenobarbital dengan dosis 4-5 mg/kg BB/hari. Obat anti piretika yang dipakai misalnya aspirin, dosis yang diberikan 60 mg/tahun/kali, sehari diberikan 3 kali. Untuk bayi di bawah umur 6 bulan diberikan 10 mg/bulan/ kali, sehari diberikan 3 kali.
b.     Profilaksis jangka panjang
                   Ini diberikan pada keadaan 1) Epilepsi yang diprovokas oleh demam, 2) yang telah disepakati pada konsensus bersama ialah pada semua kejang demam yang mempunyai ciri :
1)    Terdapatnya gangguan perkembangan saraf seperti paralisis serebral retardasri perkembangan dan mikrosefali.
2)    Bila kejang berlangsung lebih dari 15 menit, bersifat fokal atau diikuti kelainan saraf yang sementara atau menetap.
3)    Bila terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik pada orang tua dan saudara kandung.
4)    Pada kasus tertentu yang dianggap  perlu yaitu bila kadang-kadang terdapat kejang berulang atau kejang demam pada bayi berumur di bawah umru 12 bulan.

4.     Mencari dan mengobati penyebab
                     Penyebab kejang demam sederhana maupun epilepsi yang diprovokasi oleh demam biasanya adalah infeksi respiratorius bagian atas dan otitis media akut. Pemberian antibiotik yang adekuat perlu untuk mengobati penyakit tersebut. Secara akademis pasien kejang demam yang datang untuk pertama kali sebaiknya dilakukan fungsi lumbal untuk menyingkirkan kemungkinan adanya faktor infeksi di dalam otak misalnya meningitis. Pada pasien yang diketahui kejang lama pemeriksaan lebih intensif seperti pungsi lumbal, darah lengkap, gula darah, kalium, magnesium, kalsium, natrium dan faal hati. Bila perlu rontgen foto tengkorak, EEG, ensefalografi dan lain-lain.

H.    Komplikasi
  1. Kerusakan otak
  2. Retardasi mental
  3. Epilepsi
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

1.      PENGKAJIAN

I.                   Identitas
Nama
Umur
Alamat
Status
Penanggung jawab
No MR

II.                Riwayat Kesehatan
Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya pasien mengalami demam,badan lemas,tidak nafsu makan,suhu tubuh menurun
Riwayat kesehatan lalu
           Biasanya pasien hanya mengalami demam biasa dan pada akhirnya menjadi kejang demam
Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya keluarga pasien tidak ada yang mengalami penyakit yang sama seperti yang dialami sekarang


2.      DIAGNOSA
diagnosa keperawatan yang sering muncul pada pasien kejang demam adalah :

a. Hipertermi berhubungan dengan ketidakefektifan regulasi suhu sekunder terhadapinfeksi 
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat
c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan penurunan masukan oral
d. Risiko terjadinya kejang berulang berhubungan dengan hipertermi
e. Risiko terhadap cidera berhubungan dengan gerakan tonik/klonik sekunder akibatkejang.
f. Bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret.
g. Kurang pengetahuan berhubungan dengan dengan kurangnya informasi mengenai penyakit dan perawatan.
h. Risiko terhadap perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan kejang berulang.
3..        INTERVENSI

1.     Hipertermi berhubungan dengan proses perjalanan penyakit.
a.     Tujuan                :    Mempertahankan suhu tubuh menurun.
b.     Kriteria hasil       :    Suhu 36-37°C / 36,5-37,5°C
c.     Intervensi           :
1)       Awasi suhu dan tanda-tanda vital setiap jam.
2)       Lakukan pengontrolan suhu, menjaga kenyamanan lingkungan.
3)       Berikan antipiretik, misalnya sanmol.
4)       Gunakan tindakan-tindakan pendinginan eksternal dan internal.
2.     Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat.
a.     Tujuan                :    Masukan kalori adekuat untuk meningkatkan atau mempertahankan BB yang tepat.
b.     Kriteria hasil       :    Menstabilkan BB.
c.     Intervensi           :
1)       Berikan makanan sedikit dan makanan kecil tambahan.
2)       Pertahankan jadwal menimbang BB teratur.
3)       Sajikan makanan dalam keadaan hangat.
4)       Berikan diet dan makanan ringan dengan tambahan makanan disukai bila ada.
3.     Resiko tinggi injuri berhubungan dengan emosi yang labil gangguan kognitif.

a.     Tujuan                :    Bebas cidera personal.
b.     Kriteria hasil       :    Mengenali stressor yang mungkin dapat meningkatkan cidera.
c.     Intervensi           :
1)       Identifikasi faktor resiko.
2)       Awasi keadaan emosi.
3)       Periksa lingkungan fisik terhadap adanya kemungkinan resiko.
4)       Bantu dalam mengidentifikasi stressor.
5)       Turunkan stimulus berlebihan.
4.     Gangguan body image berhubungan  dengan kesulitan menerima body image.

a.     Tujuan                :    Pasien menerima perubahan tubuh dan mengintegrasikan ke dalam sel.
b.     Kriteria hasil       :    1)  Dapat mengekspresikan penerimaan tentang perubahan body image.
                                           2)  Dapat menggunakan sumber-sumber yang tersedia untuk mendapatkan informasi dan lingkungan.
c.     Intervensi           :
1)       Kaji perasaan dan persepsi pasien.
2)       Hargai kebutuhan pasien.
3)       Bantu pasien dalam mengekspresikan perasaannya.
4)       Berikan informasi tentang alat bantu.
5)       Hargai pemecahan masalah yang konstruktif untuk meningkatkan penampilan.
  
Fokus intervensi lain dari Doengoes (2000 : 265, 277, 278, 767) menambahkan diagnosa, sebagai berikut :
1.     Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler, kerusakan persepsi atau kognitif, destruksi bronkia.
a.     Tujuan                :    Mempertahankan pola nafas efektif.
b.     Kriteria hasil       :    Bebas sianosis, analisa gas darah dalam batas normal.
c.     Intervensi           :
1)       Pantau frekuensi, irama ke dalam nafas.
2)       Angkat kepala tempat tidur sesuai aturan, posisi miring sesuai indikasi.
3)       Auskultasi suara nafas.
4)       Pantau penggunaan obat-obat depresan pernafasan.
5)       Berikan oksigen.
2.     Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan kerusakan neurologi, obstruksi bronkus, kerusakan perasaan atau kognitif.
a.     Tujuan                :    Mempertahankan pola pernafasan efektif dengan pola nafas paten atau aspirasi dicegah.
b.     Kriteria hasil       :    Pernafasan efektif dan tidak terjadi aspirasi.
c.     Intervensi           :
1)       Anjurkan pasien untuk mengosongkan mulut dari benda atau zat tertentu, jika kejang terjadi secara mendadak.
2)       Letakkan pasien pada posisi miring, permukaan datar, miringkan kepala seama serangan kejang.
3)       Berikan tambahan oksigen sesuai kebutuhan.
4)       Masukkan spatel lidah atau gulungan benda lunak sesuai indikasi.
3.     Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan transmisi dan atau integrasi (trauma atau defisit neurologis). 

a.     Tujuan                :    Mempertahankan tingkat kesadaran dan fungsi persepsi.
b.     Kriteria hasil       :    Mendemonstrasikan perubahan perilaku.
c.     Intervensi 
1)       Kaji kesadaran sensori.
2)       Observasi respon perilaku.
3)       Catat adanya perubahan yang spesifik dalam hal kemampuan.
4)       Hilangkan suara bising stimulus yang berlebihan.
5)       Beri stimulus yang bermanfaat.
4.     Kurang pengetahuan berhubungan dengan kesalahan interpretasi informasi, keterbatasan kognitif.
a.     Tujuan                :    Mengungkapkan pemahaman tentang gangguan dan berbagai rangsangan yang dapat meningkatkan atau berpotensial pada aktivitas kejang.
b.     Kriteria hasil       :    1)  Pasien memulai satu perubahan perilaku sesuai indikasi.
                                           2)  Pasien mentaati peraturan obat diresepkan.
c.     Intervensi           :
1)       Jelaskan kembali mengenai patofisiologi atau prognosis penyakit dan perlunya pengobatan.
2)       Diskusikan mengenai efek samping obat secara khusus.
3)       Tekankan perlunya untuk melakukan evaluasi yang teratur atau melakukan pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi.
4)       Diskusikan manfaat dari kesehatan umum yang baik, seperti diit yang adekuat, istirahat yang cukup.
5)       Berikan kembali informasi yang berhubungan dengan proses trauma dan pengaruh sesudahnya.
6)       Diskusikan rencana untuk memenuhi kebutuhan perasaan diri

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L.j. (2000). Diagnosa Keperawatan. Edisi ke-6. Jakarta : EGC.

Doenges, M.E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi ke-3. Jakarta : EGC.

Hasan, dkk. (1985). Ilmu Kesehatan Anak 2. Jakarta : FKUI.

Mansjoer, dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran.

 Edisi ke-3. Jilid 2. Jakarta: MediaAesculapius. Nelson. (2000).

 Ilmu Kesehatan Anak. Volume 3. Edisi ke-15. Jakarta : EGC. Ngastiyah. (1997).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar